KUMPULAN CERPELI (CERITA PENDEK SEKALI) - Oleh Maskuito
RAMLI SI BABI
“Pokoknya
aku mau jadi Babi.” Ramli bebicara tegas kepada ibunya.
“kenapa kamu
ingin jadi Babi?” dengan nada sabar ibunya bertanya.
“biar aku
nggak dimakan teman”
Ibunya hanya
mengangguk mencoba memahami, akan tetapi
secara tragis ayah Ramli memasukan dia ke sekolah katolik.
GURU BERNAMA BAHASA
Aku belajar dari
bahasa Indonesia.
Bahwa “kata",dapat mengandung makna.”
Padahal dia
bukan betina.
SI MISKIN MENGHADIRI SEMINAR.
Orang miskin
datang ke sebuah seminar motivator terkemuka di Indonesia.
Dia duduk di
paling depan, bajunya benar-benar luntur. Jeansnya sudah kusam. Tapi dia pede
saja, karena dia selalu mengingat kata-kata motivator itu. Bahwa kita harus
menginvestasikan waktu kita, mengikuti sebuah seminar. Untuk mencapai sebuah
keberhasilan.
Si miskin
sengaja datang lebih dulu, agar mendapatkan kursi paling depan. Sekarang sudah
pukul delapan. Orang-orang sudah mulai berdatangan, dan sudah mengisi
kursi-kursi yang kosong. Mereka mulai duduk berdekatan dengan rekan-rekannya. Hanya
si miskin yang tampak duduk di pojokan seperti tidak memiliki relasi dengan
dunia ini.
Akhirnya motivator
itu masuk, dengan setelan jas necisnya. Rambut klimis, dan kulit putih yang
mempesona. Nada suara “selamat pagi” yang begitu indah, menandakan dia mengenal
nada. Si Miskin, benar-benar
memperhatikan setiap apa yang dibicarakan motivator. Bahkan dia mencatat setiap
kata-katanya, takut lupa. Karena si Miskin, telah menabung sebagian hasil jerih
payahnya dari mengangkat batu, untuk mengikuti seminar ini.
Hingga pada
tengah seminar, Motivator berkata. “ orang-orang gagal dan miskin itu, tidak
mau keluar dari zona nyaman. Sehingga mereka harus menanggung deritanya di masa
depan” suara lantang menggelora serta sangat mempesona keluar dari mulut motivator.
Si Miskin
tidak terima dengan pernyataan Motivator, langsung dia menyahut “ memang bapak kira kemiskinan memberikan
kita kenyamanan?”
Seketika hening,
semua mata menuju ke si Miskin, karena tidak nyaman. Si miskin lalu
meninggalkan ruangan tersebut.
Si Miskin meninggalkan zona tidak nyaman.
KISAH SEBUAH BATU
Kemarin
sore, aku berbincang dengan batu.
Dia berkisah
tentang hidupnya.
Di sisi
hidupnya, pernah gagah merajam para penzinah.
Di waktu
lain, dikantungi bocah hanya untuk peredam
berak.
Pernah
seorang gila, hendak menjadikannya mahkota cincin akik.
Hari minggu
pon tubuhnya menghantam wisma priyayi korup.
Walau
sungguh sederhana cita-citanya, ingin mati dalam kondisi khusnul khotimah.
Tapi apa
daya, kematiannya hadir sebelum dia
lahir.
Hingga
segala kebajikannya,
Terpaksa diikhlaskan.
MABUK YANG DIFITNAH
Dulu orang
tuaku pernah berkata, bahwa mabuk-mabukan hanyalah bentuk pelarian dari
masalah. Bukannya menyelesaikannya, malah menambah masalah. Tapi setelah
dewasa dan tau rasanya mabuk, jangankan lari, glesotpun aku tak sanggup.
Sebelum mabuk-ku
khusuk, aku titip pesan kepada temanku. “Kalau masalah nyariin gw, bilang.... gw di
sokin”
SUFI DAN DOANYA
Seorang sufi
menangis tersedu-sedu, setelah habis sholat di masjid kampungnya, dia memohon
ampun. Kebetulan dia adalah umat yang paling tidak disukai di kampung ini. Karena
dia memutuskan menjadi sufi. Bukan karena sufinya, tapi karena aliran dia
berbeda dengan mayoritas umat di sini.
Seorang marbot
melihatnya, dia berharap dapat mendengar apa yang diucapkan si sufi dari kejauhan.
Dia akan senang sekali mendapatkan info untuk digibahkan kepada teman-temanya,
dan dia bisa membuktikan bahwa jalan yang sufi pilih salah.
Memang tanpa
sengaja si sufi mengeluarkan suara dalam doanya, walaupun sangat kecil suara
itu. Tapi cukup kedengaran, karena waktu itu bukan waktu yang lazim untuk berdoa.
“Ya Allah,
hamba mohon jangan Engkau memberikan hamba berkah yang berlebihan. hamba tak
mau berkahMu, hamba maunya Engkau selalu bersamaku. (sedak kencang meghentikan
sementara doanya) Ampun ya Allah, tolong jauhkan saya dari berkahMu yang berlimpah.
Engkau tak memberikan hamba kesempatan untuk bersyukur. Belum habis hamba
menangis, sudah Kau persiapkan air mata dibalik pelupuk hamba. Belum selesai hamba
makan siang, sudah kau sediakan hidangan sore. Bagaimana hamba bisa bersyukur,
sedangkan berkahMu melebihi kecepatan cahaya. Ampuni Hamba ya Allah, kurangi
berkah hamba, berikan hamba jeda untuk berkata alhamdullilah sebanyak-banyaknya.
Amin”
Sang marbot
menghampiri sufi dan memeluknya, sambil mengucapkan.
“maaf.”
Komentar
Posting Komentar