Cerpen : HIDUP BERSAMA KEMATIAN - Oleh Maskuito
Tuhan sedang menjalankan pekerjaanNya, yaitu menurunkan tulah. Tuhan telah lama berpuasa untuk menurunkan tulah. Ia rasa inilah saatnya, kamu bayangkan sebuah zat terbesar di alam semesta menumpahkan segala dendam-Nya. Tanpa perlu cuap-cuap mantra keluarlah kutukan untuk belahan dunia. Tetiba seluruh daratan kota Humiola lumpuh. Ribuan masyarakat disana, tetiba muntah, padahal sepagi tadi mereka merasa baik- baik saja.
Mereka muntah, setiap orang berusaha
mengatupkan mulut, tapi cairan itu begitu derasnya, dengan bau busuk, hasil
pencernaan di dalam lambung, mulut tidak dapat menahannya. Muntah itu keluar
dari sela-sela giginya, ada beberapa sisa makanan tertahan di balik gigi. Setelah manusia- manusia itu berhasil
mengeluarkan gelombang pertama muntahnya.
Gelombang kedua datang, gelombang
ketiga dan seterusnya. Hingga tidak ada sisa makanan yang datang dari lambung
yang dapat dikeluarkan lagi. Bagi yang beruntung, muntahan terakir mereka hanya
berupa angin, sembari mencekik leher terjatuhlah mereka dan mati. Bagi yang
kurang beruntung, mereka masih bisa memuntahkan darah. Bau anyir serta busuknya
proses pencernaan menjadi satu, dan ketika keluar dari mulut aromanya mampir
sementara di sela hidung.
Tidak ada satupun orang yang waras,
mau mati dengan cara tersebut. Tapi mereka mati, tercekik bau busuk. Bahkan diwaktu
tersebut, untuk mengucapkan satu huruf saja tidak akan terucap. Hanya ada desah
tidak jelas, dan panjang desah tersebut hanya dua ketukan. Apalagi harus
mengucapkan kalimat syahadat, tidak ada waktu. Dengan segala omong kosong para
pendakwa industri, bagi kafir yang mau tobat diwaktu matinya.
Satu persatu orang mulai mati,
terjatuh ke aspal, tanpa menhiraukan bahwa aspal lebih keras dari batok
kepalanya. Hingga banyak darah juga mulai bertumpahan dari batoknya di aspal.
Memberikan bunga di jalan, makanan. Bunga di jalan benar-benar berpesta saat
itu. Baru kali ini mereka minum darah. Mereka bergoyang-goyang karena angin,
seperti berdansa. Merayakan kematian banyak orang. Sambil menghirup darahnya.
Mereka selama ini tidak dapat berbuat apa-apa ketika manusia mencabutnya dengan
semena-mena. Memperkosa helai daun-daunya. Hanya untuk seorang kekasih yang
tidak dicintainya. Bunga tersebut, hanya pelicin bagi seorng laki-laki, untuk
dapat merogoh daging di balik rok perempuan-perempuan tolol yang tersebar di
jalanan.
Dibalik itu semua, tuan kematian
kewalahan bekerja, beberapa
hari ini dia lembur.
Untuk merangkul manusia-manusia tersebut menuju alam baka. Sudah beberapa bulan
ini, tuan kematian tidak pulang. Birahinya bergerumuh, berharap semua ini
segera selesai. Hingga ia dapat menghampiri istrinya, dan mencumbu. Tapi apa
daya, sebagai hamba,
dia harus bekerja membersihkan tulah Tuhannya.
Tuan kematian ini memang cukup
“baper”, beberapa kali terpaksa, dia mendengar keluh kesah manusia, tentang
pekerjaannya yang dikerjakan secara sempurna. Manusia-manusia itu mengeluh
tentang kematian yang datang dengan tiba-tiba. Sungguh tuan Kematian dibuat
kesal oleh bacotan manusia tersebut.
Bahkan dipuncak marahnya tanpa sengaja, tuan kematian menarik nyawa seseorang
yang menghinannya.
Tentu saja
ia harus mempertanggungjawabkan itu ke pengadilan internasional alam baka.
Mengambil nyawa seseorang yang seharusnya belum mati adalah pelangaran hukum serius di dunia
kematian. Tapi sungguh tuan Kematian tidak peduli. Dia sudah muak dengan segala
keluh kesah manusia tentang kematian. Tak lama berselang, jendral malaikat
datang, dia mengetahui bahwa tuan Kematian merenggut nyawa seseorang yang belum
saatnya mati. Tuan Kematian menjelaskan duduk permasalahannya. Jendral malakait
dengan kemarahan menyuruh Kematian untuk ambil cuti beberapa hari. Tapi dengan
kata yang sangat kasar.
Dengan
mengeletukkan gigi, kematian mengambil beberapa peralatan tugasnya dan pergi
meninggalkan jendral malaikat. Amarahnya masih hangat. Belum reda, ditambah
dengan dimarahi malaikat membuat hati kematian makin dijilati amarah. Mebuat
amarahnya terangsang untuk membanting, menendang segala bentuk yang ada di sekitarnya.
Pernahkah
kamu merasakan mati? Saat maut datang, tuan Kematianpun hadir mendekat pada
zahir manusia. Biasanya ia berjalan dengan pelan, untuk menimbulkan efek
dramatis, dan sensasi kepada seseorang yang didekati maut. Bagi seseorang yang
mati karena penayakit, biasanya diawali dengan demam. Disaat itu tuan kematian
sudah dikode dari para petugas, dia akan dikirimi surat gaib, yang dapat
melayang di udara, transparan seperti pakaian istri yang berusaha menggoda
nafsu binatang suami orang.
Dalam
surat tersebut, terpapar data orang yang akan menemui ajal, segala data orang
tersebut sangat lengkap, dari situlah penentu layanan seperti apa yang layak
didapat seseorang ketika mati. Tuan kematian yang akan menentukan. Cara kerja
tuan kematianpun sungguh unik. Ia hanya mengecup dahi seseorang yang mengajal.
Dahi itulah pintu roh, bagi seseorang yang punya bakat dapat melepaskan roh
dari tubuh, pasti pertama yang dia liat adalah wajahnya sendiri. Karena memang
roh keluar dari dahi.
Sensasi
ketika mati adalah, badan serasa mengigil, tapi tidak sedikitpun badanmu
bergetar. Karena memang sesungguhnya roh yang mengigil. Karena roh tersebut
merasakan kedatangan tuan kematian. Seketika imajinasimu melayang, mengenang
masa lalu. Hantu-hantu orang terdahulu tetiba keluar di dalam imajinasimu.
Seolah-olah seperti film, seperti film roll yang berputar cepat. Disitu kamu
dapat melihat kembali kenangan-kenangan kamu. Pengalaman zinah, yang begitu
jelas. Aroma-aroma perempuan yang kamu tiduri begitu nyata. Dalam getaran roh,
secara bersamaan terangsanglah kamu. Tapi juga dipenuhi ketakutan. Didekat
kematian kamu diingatkan akan dosa-dosa yang harus kamu tanggung di akhirat.
Hingga
memori terakhir yang keluar adalah sentuhan ibumu, kamu mendapati jarimu sangat kecil. Berusaha
menggenggam jari ibumu dengan payah. Padahal terasa kamu sekuat tenaga memegang
jari tersebut. Akan tetapi dengan mudahnya tanganmu terlepas dari jari ibumu,
kamu seperti ditarik kedalam kegelapan. Tangan kecilmu, terlepas dari jari
tersebut. Rohmu terangkat dari tubuh.
Rasa yang
kamu dapati ketika roh tercabut adalah, setiap inci roh yang keluar, seperti
mengoyak tubuh. Sakitnya begitu terasa, hingga jengkal roh terakhir keluar.
Seperti banyak benda tajam yang terdapat dalam tubuhmu dan keluar satu-persatu.
Hanya untuk melengkapi kematianmu. Karena memang tidak ada makna, penderitaan
sebelum mati ini. Hanya sebuah sistem yang bekerja begitu saja, secara tulus.
Sekarang
tubuh itu tergeletak kaku, mati, dan asing. Tubuh dan wajah tampanmu. Bukan
milikmu lagi. Yang selama ini kamu banggakan di Instagram, untuk menjebak
perempuan-perempuan dengan ketulusan cinta. Perempuan-perempuan tersebut yang telah bercampur denganmu,
segala konsepnya rusak akan nilai cinta. Mereka lalu menegakkan istilah bucin,
hanya untuk mengampuni kebodohannya sendiri, telah mencapakkan orang lain, yang
mengejarnya dan benar-benar mencintainya.
Tapi
sebenarnya dibalik maut, makna mati itu
begitu dalam, dan saat ini bukanlah saat yang tepat, biarkan tuan
kematian yang menceritakannya. Akan lebih seru jika tuan kematian itu sendiri
yang menceritakannya.
******
Tuan Kematian, pulang
kerumahnya. Mengoleh-olehi istrinya dengan kemarahan yang bukan untuk dia.
Pintu rumah, dibanting, istrinya terkejut. Langsung mencari tau, apakah
hirosima dan Nagasaki terkena bom lagi. Hingga suaminya pulang dengan rona
perang dunia. Istri tuan Kematian namanya Liang, perempuan tersebut berparas
cantik, senyumnya setengah bulan sabit. Bibir atas tipis, bibir bawah
mengimbangi. Matanya cukup besar. Hingga banyak hati pria yang rela mengelana
di dalamnya.
Rambutnya hitam, lurus, terkadang
dia menggunakan bando seperti kelip bintang, hingga ketika bando tersebut
dikenakannya, rambutnya seperti malam yang penuh dengan bintang. Liang
menggunakan kacamata kotak, dia rabun jauh. Tapi tidak besar minusnya. Hingga
dia masih sanggup melihat kejauhan dengan melepaskkan kacamatanya. Akan tetapi
kacaulah dunia jika kacamatanya dilepas. Semua jantung akan berhenti sekian
detik ketika memandang mata yang tak berframe tersebut.
Wanita tersebut cukup tinggi
untuk ukuran perempuan, pakaiannya selalu cocok ketika di pakai. Memandangi
perempuan tersebut tidak ubah merupakan musibah yang setara dengan kematian.
Jelas karena suaminya adalah pangkal dari kematian. Tiada lelaki yang berani
mencoba menikung kematian. Mereka sudah tau akan berakhir kemana, jika itu
terjadi.
Walaupun kematian merupakan
momok yang menyeramkan di jagat bumi, tetapi ketika berdua dengan Liang tetap
saja, lemah lembutlah dia, bahkan ketika Liang memasang wajah cemberut,
Kematian akan langsung mencari pekerjaan rumah yang bisa dia kerjakan. Entah
mencuci piring yang sudah di cuci. Ataupun membersihkan jendela, hanya untuk
meredakan kesal perempuan yang dicintainya.
Tapi malam itu sungguh berbeda,
Liang sudah bersiap menampung segala kegelisahan kematian. Dia sesegera
mungkin mengosongkan ruang hatinya, untuk mempersilahkan sampah yang dibawa
kematian untuk dibagi dengan dirinya.
“ Manusia itu keparat.”
Liang hanya terdiam,
berusaha mengetahui persoalan. Mencoba menganalisis ucapan pertama suaminya.
“ Mereka tidak tahu terima
kasih.” Sembari melempar sembarangan alat kerjanya. Hingga menciptakan
kegaduhan yang cukup untuk membangunkan empatpuluh rumah disekelilingnya.
Liang berusaha menyembunyikan
wajah takutnya, demi sang suami menyelesaikan sambat.
Kematiaan mendekatkan wajah
marahnya, kepada Liang. Asap hitam bertebaran disekitar wajahnya yang kering,
pucat dan dingin.
“ mereka harus terima akibatnya.”
“ kamu kenapa?” Liang
memberanikan diri bertanya.
“ aku, diminta untuk
cuti oleh jendral malaikat. Karena merenggut nyawa manusia yang menghina aku”
“Memang, sudah
waktunya dia mati?”
“ hmmm, Belum”
jawabnya sedikit ragu, jawabannya itu mempersilahkan
wajah tololnya terpampang jelas.
Tapi Liang tidak menghakimi
suaminya, dia memandanginya dengan penuh pengertian. Memang karena wabah
penyakit ini, suaminya harus lembur selama tiga bulan, dan itu menyiksa.
Dengan lirih kematian berkata
lagi,
“ aku sudah bekerja
sebaik mungkin, merenggut nyawa mereka.”
“membebaskan mereka
dari hidup, yang setiap hari mereka tangisi, mereka marahi, mereka hujat. “
“ aku membebaskan
mereka, dari bunuh diri. Aku yang mengotori tanganku, mengotori bibirku.,
mengecup keparat-keparat tersebut”
“ Lalu apa balasan
mereka?! Mereka menghujat aku, mengutuk kematian, menghindarinya, seolah-olah
mereka dapat hidup selamanya.”
“ mereka lalai,
meniduri suami orang, berhutang dan marah ketika ditagih, seolah aku tak datang
menghampirinya”
“mereka mengeluhkan
kehidupan, tapi mengutuk kematian”
“BANGSAT”
Liang membuka tangannya, menawarkan
peluk. Kematian tak kuasa, dia jatuh dilututnya. Dekat dengan posisi duduk Liang.
Langsung dia menghamburkan
tubuhnya ke pelukan Liang. Wajahnya ditumpahkan ke buah dada Liang. Liang
meremas rambut kematian. Membiarkan buah dadanya memberikan ketenangan.
Kematian seperti seekor bayi. Langsung tenang ketika bertemu dengan daging
menyembul tersebut. Seketika hening.
Hari itu
malam jumat, seharusnya mereka mantap-mantap. Akan tetapi, gemuruh
nafsu kematian telah memudar karena amarah. Gemuruh di buah zakarnya telah
reda. Spermanya tidur tenang sudah, darahnya yang tadi mendidih karena nafsu,
sudah turun suhunya, karena endorphin telah meracuni otaknya. Dia merasakan
peluk ini cukup. Tidak lebih, tidak kurang. Aroma badan Liang, meluluhkan asap
hitam disekitarnya.
Asap hitam itu seperti runtuh,
diberi cinta yang begitu murninya. Begitu banyaknya, amarahnya jinak seperti
bayi anjing yang telah ditampar kasih majikannya. Tuan kematian mulai sayup
matanya. Sentuhan tangan Liang mulai melembut. Hingga menggelitik, dan merinding
bulu kuduk kematian.
“apakah kau mencintaiku?” kata
tersebut menyela keheningan.
“ Iya” Jawab Liang.
Seketika Kematian terbangun dari
tidurnya, dia mengambil nafas panjang, seperti udara tidak cukup bagi mereka
berdua. Berdirinya kematian mengejutkan Liang. Dia sedikit tersentak, Tangannya
yang mengusap lembut tak kuasa menahan grakan kematian. Tetiba kematian
mengenggam kepala Liang, ingin mencium dahinya.
Liang marah, sekaligus takut “ apa
yang kamu pikirkan? Apakah kamu sudah kehilangan otakmu?!!!”
Tapi tuan Kematian hanya diam,
dengan tenang dia semakin keras menggenggam kepala Liang. Liangpun semakin kuat
memberontak, ditendangnya kematian, dibagian dadanya. Hingga kematian terpental
seedikit. Liang berusaha melarikan diri. kematian mengambil alat kerjanya.
Ketika dikeluarkan, itu seperti pacul dengan kepala arit di ujungnya. Alat itu
hanya dilapisi kain berwarna hitam.
Nama alat itu Eni, runcingnya
sungguh runcing, bahkan cahaya bisa terputus ketika Eni menyamambarnya.
Kematian hanya menggunakan Eni dalam beberapa kasus. Terutama jika sesorang
mati dalam kondisi kecepatan penuh. Jangan pernah kamu memohon dicabut nyawanya
oleh Eni. Karena roh mu akan terluka jika kena sambarnya.
Kematian mengayunkan Eni ke Leher
Liang, Eni benar-benar teguh menancap ke leher Liang, darah roh muncrat
disekeliling Eni. Darah Roh itu tidak berwarna merah. Tapi dia berwarna biru
dipinggirnya dan putih ditengahnya seperti neon, bercahaya. Tapi hanya empu
kematian dan roh halus yang dapat melihatnya.
Aroma darah roh itu seperti, jika
kamu mencium udara dingin, membuat seluruh rongga pernafasan membeku, membentuk
bunga es di bronkus. Cukup berbahaya bagi
manusia menghirup aroma darah roh. Karena bisa mengakibatkan infeksi paru-paru.
Pemandangan matinya Liang, tidak
begitu estetis. Karena untuk beberapa saat Liang seperti terangkat oleh Eni,
hingga kakinya terjinjit. Untuk mengurangi nyeri cekikan. Semakin tidak
estetis, karena yang membunuhnya adalah kekasihnya. Oksigen di sekitarnya seperti
menghindar dari hidung Liang. Hemoglobin dalam darahnya langsung kekurangan
pasokan udara. Pembakaran dalam tubuhnya mengalami kegagalan. Satu persatu
organ dalam, lumpuh dan mematikan diri. Agar
pemilik tubuh dapat menghemat sisa pernafasan.
Tentu saja, sistem tubuh yang mati
secara otomatis memang sangat canggih. Tapi tidak akan berguna jika si empunya
tubuh sedang menghadapi ajal. Semua sistem itu mati dengan sia-sia. Padahal
maksudnya adalah perjuangan untuk penyelamatan tubuh.
Liang semakin tercekik, tidak ada
kata-kata yang sanggup keluar. Hanya gumanan berbunyi “kekrk” yang keluar dari
mulutnya. Seperti bunyi kumur dengan air sedikit, dan di mulut Liang memang
hanya ada air ludah yang sedikit. Yang lama-kelamaan jadi kering, tertumpah-tumpah. Ludah tersebut
makin mempercepat kematian Liang, makanya segera ia buang.
Suasana tersebut terasa lama,
padahal jika dilihat kondisi tersebut
hanya berlangsung beberapa detik. Tapi tidak begitu yang dirasakan Liang. Di
detik terakhir ketika rohnya keluar. Tubuh Liang terjatuh. Menghantam sisi
lantai. Badannya sempat menabrak kursi. Hingga kulit liang robek sedikit. Darah
segar keluar dari kulit yang terluka.
Dentuman yang cukup keras mengisi
nada di ruangan sepi tersebut. Kematian melihat kekasihnya mati. Tidak
sedikitpun air mata keluar, hanya senyum simpul. Kepuasaan yang menggelora.
Melebihi perasaan mabuk dengan bahan kimia apapun.
Walau tubuh itu terjatuh, tidak
dengan roh yang masih tersangkut di mata pisau eni. Roh Liang masih berdiri,
sejenak kematian melepas eni dari leher Liang. Setelah pisau itu terlepas dari
lehernya. Kematian tertawa keras-keras seperti mengejek. Lalu dia lompat
kegirangan, menari-nari seperti tarian perang suku Dayak yang berhasil
memenggal kepala lawannya.
Kematian berbalik, masih berusaha
membuat lucu keadaan, tapi ketika berbalik roh istrinya geram. Liang layangkan
tamaparan seribu ke wajah kematian. Wajahnya cukup menyeramkan. Walaupun paras
cantik dan lucunya Liang tetap ada disana. Tuan kematian kicut, dia mencoba
melarikan diri, mengelilingi sofa yang ada di antara mereka. Mereka berkelahi
seperti anak kecil.
Leher roh Liang masih berlubang
karena Eni,
“sebentar
sayang aku jelaskan!”
“tidak mau, kamu brengsek. Kenapa sih kamu bunuh aku
sekarang?” sambut liang
“ ya makanya
aku jelasin”
Kata-kata
tuan kematian tidak meredakan amarahnya, tuan kematian, memutuskan membunuh istrinya,
karena biar dia besok sekalian mengikuti sidang pembunuhan yang belum waktunya,
termasuk kepada istrinya.
Akhirnya tuan kematian harus tidur
diluar, beberapa hari. Karena istinya masih marah dan kadang masih menangis di
tengah malam.
“sudahlah,
tidak usah menangis. Intinya sekarang kita sefre...”
“DIAMMMMM”
belum sempat menyelesaikan kalimat istrinya sudah berteriak kencang.
“ Ihhh..
yaudah.” Tuan kematian tidak marah, hanya saja gemas juga menghadapi drama
kemarahan istinya. Tapi memang begitu khan manusia suka drama jika berurusan
dengan mati. Toh, besok-besok dia mati juga, dan mumpung matinya masih muda,
khan masih cantik dia. Walaupun begitu, tuan kematian puas. Mereka benar-benar
bersatu sekarang.
Akhirnya mereka
mati bahagia selamanya.
Komentar
Posting Komentar